Inovasi BIOFOAM Alami Antibakteri


  LAPORAN PENELITIAN
OLIMPIADE PENELITIAN SISWA INDONESIA (OPSI) 2018

SMA Negeri 1 Lamongan

INOVASI BIOFOAM ALAMI ANTIBAKTERI DENGAN TEKNIK THERMOPRESSING SEBAGAI UPAYA PENGURANGAN LIMBAH SERTA PEMANFAATAN POTENSI LOKAL

Fajriatul Mufarriha Sunni1 dan Wildan Zuhrif An Nabil2       
SMA Negeri 1 Lamongan
E-mail: sorghumfoam@gmail.com
ABSTRAK
Sterofoam adalah bahan pengemas makanan yang banyak diminati. Namun dalam penggunaannya, sterofoam mampu menimbulkan berbagai penyakit yang dapat merusak tubuh. Bahan ini juga digolongkan sebagai bahan yang tidak dapat didaur oleh alam sehingga sama sekali tidak ramah lingkungan. Kabupaten Lamongan adalah daerah yang mempunyai potensi sangat besar di bidang pertanian dan perikanan. Namun hal ini tidak dibarengi dengan pengolahan limbah yang baik. Permasalahan di atas mendorong kami untuk menciptakan sebuah inovasi berupa biofoam yang berbahan dasar sorghum, tongkol jagung, dan cangkang kepiting. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui apakah sorghum, tongkol jagung dan cangkang kepiting dapat di gunakan sebagai biofoam alami anti bakteri dengan penerapan teknik thermopressing serta mengetahui perbandingan kualitas antara biofoam alami anti bakteri dengan sterofoam yang ada di pasaran.. Metode penelitian yang digunakan adalah dengan melakukan uji literatur untuk kemudian dipraktekkan dalam pembuatan biofoam kemudian hasil pembuatan tersebut dilakukan uji eksperimen untuk megetahui perbandingan kualitas biofoam dengan sterofoam yang sudah beredar di pasaran. Hasil dari beberapa pengujian tersebut menunjukkan bahwa bahan-bahan tersebut dapat digunakan sebagai bahan pembuatan biofoam yang mempunyai kualitas lebih baik dari sterofoam yang beredar di pasaran.

Kata kunci : Biofoam, Cangkang Kepiting, Sorghum, Tongkol Jagung, Thermopressing.
A.   PENDAHULUAN
      Gaya hidup saat ini yang kian praktis mendorong meningkatnya penggunaan kemasan pada produk makanan. Akibatnya, ketergantungan manusia pada kemasan dalam keseharian sangatlah tinggi. Salah satu jenis kemasan plastik yang sering digunakan adalah sterofoam. Pengunaan steroform merupakan hal yang identik dengan pengemasan makanan baik dalam kondisi panas maupun dingin [1]. International Agency for Research on Cancer telah mengklasifikasikan   sterofoam sebagai zat yang dapat menyebabkan kangker. Peneliti menemukan bawa styrene meningkatkan resiko kanker pancreas dan tenggorokan. Dalam sekali pemakaian sterofoam sekitar  0.025 % styrene dapat terkirim ke dalam tubuh manusia baik dalam keadaan panas maupun dingin. Jika seseorang meminum air, teh atau kopi dengan gelas sterofoam empat kali setiap harinya dalam tiga tahun maka  akan bernilai sama dengan mengonsumsi satu buah gelas  sterofoam [2]. Materi dari styrofoam ini bersifat non-daur ulang dan non biodegradable (tidak dapat membusuk menjadi zat konstituen)  sehingga untuk menguraikannya perlu waktu jutaan tahun [3]. Pada Juli 2001 Divisi Keamanan Pangan Pemerintah Jepang menyatakan bahwa residu styrofoam dalam makanan sangat berbahaya. Adapun bahan yang potensial untuk dimanfaatkan sebagai bahan baku biopolymer adalah produk atau limbah pertanian seperti pati dan selulosa [4].
        Salah satu produk pertanian yang kaya akan pati adalah sorghum (Sorghum bicolor)  dengan kandungan pati 65-71% [5]. Produktivitas rata-rata sorgum di Lamongan cukup tinggi, mencapai sekitar 6,5 ton per hektar walaupun tidak banyak petani yang menanamnya. Menurut perwakilan dari Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Timur, Tri Sudariyono, produktivitas sorgum Lamongan bahkan jauh lebih tinggi dari angka nasional yang hanya berkisar antara 2 hingga 3 ton per hektar [6]. Indonesia termasuk negara yang masih ketinggalan, baik dalam penelitian, produksi, pengembangan, penggunaan, maupun ekspor sorgum [5]. Hal ini membuat sorghum menjadi komoditas yang kurang diperhatikan dan mempunyai nilai jual rendah.
      Bahan lain yang sangat potensial adalah tongkol jagung. Produksi jagung di Indonesia meningkat dari tahun ke tahun, dari sekitar 11 juta ton per tahun di 2004 menjadi 18 juta ton per tahun di 2014. Sehingga produksi tongkol jagung juga meningkat yang jumlahnya sekitar 40% dari total produksi jagung, sekitar 7,5 juta ton di tahun 2014 [7]. Menteri Koperasi dan UKM, Anak Agung Ngurah (AAG) Puspayoga sangat mengapresiasi Kabupaten Lamongan yang mempunyai produktivitas jagung hingga 12 ton dan telah mengekspor produk olahannya ke mancanegara. Seiring dengan pengolahan jagung menjadi produk siap jadi akan menghasilkan sampah padat berupa tongkol jagung. Sehingga ketersediaan tongkol jagung ini melimpah dan kontinyu pasca panen. Potensi ketersediaan tongkol jagung yang melimpah ini perlu diiringi dengan pemanfaatan limbah padat ini menjadi barang setengah jadi atau bahan jadi [8]. Tongkol jagung merupakan bahan berlignoselusa dengan kadar serat jauh lebih tinggi bila dibandingkan dengan kadar serat limbah pertanian lain [9]. Tongkol jagung berpotensi dimanfaatkan menjadi bahan lainnya karena mengandung kompleks lignin 6,7 – 13,9%, Hemiselulosa 39,8%, selulosa 32,3 – 45,6% ([10]. Sehingga dengan kandungan tersebut limbah tongkol jagung juga dapat dimanfaatkan sebagai sumber serat pada biofoam.
        Disamping itu, Indonesia adalah negara pengekspor kepiting. Dengan ekspor kepiting (umumnya kaleng)  4000 ton per tahun juga berpotensi menghasilkan kulit sebagai limbah sebanyak 1000 ton per tahun [11].. Menurut data dinas perikanan Lamongan, Di lamongan sendiri terdapat enam pabrik pengolahan kepiting berskala ekspor yang menghasilkan limbah sekitar 10 ton perbulannya. Dengan demikian jumlah hasil samping produksi yang berupa cangkang kepiting yang umumnya 25-50 % dari berat, sangat berlimpah. Cangkang Kepiting mengandung persentase kitin paling tinggi (70%) diantara bangsa-bangsa krustasea, insekta, cacing maupun fungi. Kitin inilah yang nantinya akan diasetilasi menjadi kitosan [11]. Keunggulan kitosan adalah merupakan bahan alami. Penggunaan dalam jumlah sedikit konsentrat, mempunyai muatan positif yang kuat yang dapat mengikat negative dari senyawa lain atau sebagai detoksifikasi, menghambat pertumbuhan bakteri serta mudah mengalami degradasi secara biologis dan tidak beracun [12]. Dengan kandungan tersebut cangkang kepiting dapat dimanfaatkan sebagai bahan anti bakteri.
        Penguraian diatas memotivasi penulis untuk mengatasi limbah serta menambah nilai guna potensi lokal dengan judul “Inovasi Biofoam Alami Antibakteri Sebagai Upaya Pengurangan Limbah Serta Pemanfaatan Potensi Lokal
        Proses pembuatan biofoam dilakukan dengan menggunakan thermopressing dimana adonan dicetak dan dipanaskan pada suhu dan tekanan tertentu selama beberapa waktu untuk menghasilkan biofoam dengan tampilan visual terbaik. Berdasarkan hasil penelitian suhu proses terbaik adalah 200oC dengan lama waktu proses 3 menit untuk kondisi proses ideal pembuatan biofoam. Sedangkan volume adonan terbaik yang digunakan sekitar 50 g disesuaikan dengan komposisi bahan [13].
      Rumusan masalah yang didapat dari uraian di atas adalah: 1. apakah sorghum, tongkol jagung dan cangkang kepiting    dapat dimanfaatkan sebagai biofoam alami anti bakteri dengan penerapan teknik thermopressing? 2. Apakah biofoam alami anti bakteri mempunyai kualitas yang lebih baik dari sterofoam yang ada di pasaran ? Tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Untuk merancang biofoam alami anti bakteri dengan penerapan teknik thermopressing 2. Untuk merancang biofoam alami anti bakteri
yang mempunyai kualitas lebih baik dari sterofoam yang ada di pasaran. Oleh karena itu dirancang biofoam alami anti bakteri dengan penerapan teknik thermopressing  yang mempunyai kualitas lebih baik dari sterofoam yang ada di pasaran.
B. METODE
A. Prosedur Penelitian
a.  Metode literatur digunakan untuk mencari informasi awal yang berkaitan dengan ide atau gagasan dalam pembuatan biofoam alami anti bakteri dengan teknik thermopressing
b. Metode eksperimen digunakan untuk memperoleh data yang berkaitan dengan kemampuan sorgum, tongkol jagung, dan cangkang kepiting untuk menggantikan styrofoam yang sudah ada dengan membandingkan keduanya dari segi kemampuan sebagai anti bakteri, isolator panas, ketahanan panas, kedap air, ketahanan beban dan lama penguraian dalam tanah.

B. Pembuatan biofoam alami anti bakteri 

   a. Alat

1.  Panci kukus
2.  Presto
3.  Alat Thermopressing
4.  Microwave
5.  Baskom

         b. Bahan
1.   40 gram sorghum halus
2.  20 gram tongkol jagung halus
3.  10 gram cangkang kepiting
4.  30 gram gelatin nabati
5.  200 ml air

c.  Alur  Pembuatan Biofoam Alami Anti bakteri

1. Menyiapkan alat dan bahan

2. Menggiling sorghum hingga halus

3. Menghaluskan tongkol jagung
4. Menghaluskan cangkang kepiting yang sudah dikeringkan
5. Mencampur sorghum, tongkol jagung dan cangkang kepiting ke dalam wadah
6. Merendam adonan dengan air hingga larut
7. Mengukus adonan dan mencampurkan gelatin hingga tekstur mengental
8. Mengangkat dan mendinginkan adonan
9. Mencetak adonan dengan teknik thermopressing
10.Mengangkat hasil cetakan
11.Pengurangan kadar air dengan microwave

C.  Analisa Perbandingan Kualitas dan Analisis Data
        a. Uji Anti Bakteri
              Uji anti bakteri dilakukan dengan metode literatur yang didasari oleh adanya  kandungan anti mikroba pada cangkang kepiting, proses thermopressing pada suhu 200oC, dan kerapatan partikel biofoam yang tidak memungkinkan masuknya mikroba dalam kemasan biofoam [14].
                          
b. Analisis Perbandingan Konduktifitas Panas
              Untuk mengetahui perbandingan kemampuan sebagai isolator panas, kami menggunakan teknik Thermal Conductivity Apparatus untuk membandingkan daya konduktivitas antara biofoam dengan styrofoam pada umumnya. Caranya adalah dengan meletakkan es batu yang telah dicetak dengan ukuran dan massa yang sama diatas biofoam dan styrofoam selama 20 menit dengan menutupnya dengan plastik, dan mengamati penurunan berat atau massa es batu mulai menit ke-5, menit ke-10, menit-15, dan menit ke- 20 [15]. Kemudian mencatat hasil pengamatan pada tabel sebagai berikut.

                Tabel 1. Perbandingan laju penurunan berat es batu
Menit ke-
Biofoam
Styrofoam
5


10


15


20








c. Analisis Uji Ketahanan Panas
        Untuk mengetahui dan membandingkan kekuatan antara biofoam dan styrofoam dari segi ketahanan terhadap panas. Uji ketahanan terhadap panas dilakukan dengan cara merendam biofoam dan styrofom dalam air panas bersuhu 65 selama 16 menit dan mendata perubahan tekstur kedua benda pada menit ke-4, menit ke-8, menit ke-12, menit ke-16, hingga diketahui perubahan tekstur yang signifikan pada kedua benda untuk menentukan benda manakah yang memiliki ketahanan panas yang lebih baik [16]. Hasil perbandingan tersebut akan di isikan pada tabel sebagai berikut:  
Menit ke-
Biofoam
Styrofoam
4


8


12


16


Tabel 2. Perbandingan Ketahanan Panas





d. Cara Analisis Uji kedap air
                        Cara Analisis Uji kedap air memperhatikan tiap biofoam dari segi kemampuan menahan massa air, tingkat kerapatan, dan intensitas rembesan air [17]. Percobaan dilakukan dengan menuangkan 400 ml air pada biofoam dan mengamati rembesan yang terjadi. Hasil pengamatan akan di isikan dalam tabel sebagai berikut:
Kemampuan Menahan
Massa Air
Tingkat Kerapatan
Intensitas
Rembesan Air



Tabel 3. Uji kedap air






e. Cara Analisis Uji Ketahanan Beban
            Untuk mengetahui dan membandingkan kekuatan antara biofoam dan styrofoam dari segi ketahanan terhadap kekuatan dalam menahan beban [18]. Uji ketahanan beban dilakukan dengan meletakkan beban dengan massa yang berbeda-beda pada biofoam dan styrofoam pada ketebalan 3 mm dan mencatat setiap perubahan yang ditimbulkan dari perlakuan pemberian beban yang berbeda pada kedua benda, mulai dari 75 gram, 175 gram, 250 gram, hingga 380 gram. Hasil pengujian akan di masukkan ke dalam tabel sebagai berikut:
Tabel 4. Uji Ketahanan Beban
Massa (gram)
Biofoam
Styrofoam
75


175


250


380









f. Cara Analisis Proses Penguraian Biofoam Dalam Tanah  
            Untuk mengetahui proses penguraian biofoam, kami memotong biofoam menjadi beberapa bagian lalu dikubur dalam media tanah.. salah satu factor yang dapat mempengaruhi degradasi adalah pH. Mikroorganisme pendegradasi plastik mempunyai kemampuan mendegradasi hanya pada pH optimum. Kondisi biodegradasi yang terlalu ekstrim, akan menyebabkan mikroorganisme yang ada dialam akan mati. Proses penguraian biofoam dalam tanah dilakukan selama tiga minggu pada sampel tanah sampah  yang mempunyai pH yang cocok untuk memperoleh hasil yang maksimal [19]. Cara ini dilakukan dengan membandingkan lama proses degradasi styrofoam dan biofoam di dalam tanah.




C. HASIL DAN PEMBAHASAN
a. Hasil
1. Sorghum, tongkol jagung dan cangkang kepiting    dapat digunakan  sebagai biofoam alami anti bakteri dengan penerapan teknik thermopressing.
2. Hasil analisa perbandingan sebagai isolator panas dengan massa awal es batu 16,2 gram adalah sebagai berikut:
Tabel 1. Perbandingan laju penurunan berat es batu
Menit ke-
Biofoam
Styrofoam
5
15,5 gram (Sedikit mencair)
13,1 gram (Sedikit mencair)
10
12,8 gram (Sedikit mencair)
10,5 gram (Seperempat es mencair)
15
9,2 gram (Seperempat es mencair)
7,8 gram (Setengah es mencair)
20
6,6 gram (Setengah es meleleh tapi terdapat sisa gumpalan es batu)
4,4 gram (Mencair, es hampir berubah menjadi air)







3. Hasil analisis uji ketahanan panas adalah sebagai berikut.
Tabel 2. Perbandingan Ketahanan Panas
Menit ke-
Biofoam
Styrofoam
4
Belum terlihat perubahan yang  jelas
Belum terlihat perubahan yang  jelas
8
Tekstur sedikit lunak
Tekturnya menjadi lebih tipis
12
Tekstur sedikit lunak
Tekturnya semakin menipis
16
Tetap utuh, namun agak lunak
Tipis, dan mudah  robek

Kemampuan Menahan
Massa Air
Tingkat Kerapatan
Intensitas
Rembesan Air
Biofoam  elastis, kuat, bagian bawahnya tidak memuai
Rata, tidak ditemukan celah pada permukaan biofoam
Air tertampung dan  tidak dapat menembus permukaan biofoam 
4. Hasil analisis biofoam sebagai bahan kedap air dengan volume air sebanyak 400 ml.
Tabel 3. Uji kedap air











5. Hasil analisis uji ketahanan beban adalah sebagai berikut.
Massa (gram)
Biofoam
Styrofoam
75
Dapat menahan beban
Dapat menahan beban
175
Dapat menahan beban
Dapat menahan beban
250
Dapat menahan, namun mulai sedikit rapuh
Dapat menahan, sedikit rapuh
380
Dapat menahan, bagian bawah sedikit membentuk celah kecil
Dapat menahan, tidak membentuk celah, namun hampir jebol
Tabel 4. Uji Ketahanan Beban
           






6. Hasil analisis proses penguraian biofoam dalam tanah  
      Minggu Pertama         : Terdapat potongan biofoam pada tanah.
      Minggu kedua : Potongan biofoam mulai bercampur dengan tanah dan hanya ditemukan serpihan tongkol jagung.
      Minggu Ketiga : serpihan tongkol jagung sudah tidak terlihat dan seluruh bagian biofoam telah terurai oleh tanah.

b. Pembahasan
      1. Uji Anti Bakteri
                       Uji anti bakteri dilakukan dengan metode literatur yang didasari oleh adanya  kandungan anti mikroba pada cangkang kepiting, proses thermopressing pada suhu 200oC, dan kerapatan partikel biofoam yang tidak memungkinkan masuknya mikroba dalam kemasan biofoam [14]. Cangkang kepiting mengandung presentase kandungan kitin paling tinggi (70%) diantara bangsa-bangsa krustasea, insekta, cacing maupun fungi.Kitosan adalah merupakan bahan alami. Sebagai antibakteri, kitosan memiliki sifat mekanisme penghambatan, dimana kitosan akan berikatan dengan protein membran sel, yaitu glutamat yang merupakan komponen membran sel. Selain berikatan dengan protein membraner, kitosan juga berikatan dengan fosfolipid membraner, terutama fosfatidil kolin, sehingga meningkatkan permeabilitas inner membrane (IM). Naiknya permeabilitas IM akan mempermudah keluarnya cairan sel. Pada E. coli misalnya, setelah 60 menit, komponen enzim ß galaktosidase akan terlepas. Hal ini menunjukkan bahwa sitoplasma dapat keluar sambil membawa metabolit lainnya, atau dengan kata lain mengalami lisis, yang akan menghambatpembelahan sel (regenerasi). Hal ini akan menyebabkan kematian sel [20]. Dengan kandungan tersebut cangkang kepiting dapat dimanfaatkan sebagai bahan anti bakteri.
                   
2. Analisis Perbandingan Sebagai Isolator Panas
           Uji kemampuan sebagai isolator dilakukan dengan meletakkan es batu yang telah dicetak dengan ukuran dan massa awal yang sama diatas biofoam dan styrofoam, menutupi keduanya dengan plastik selama 20 menit dan memperhatikan penurunan berat es batu. Berdasarkan percobaan yang telah dilakukan, es batu dengan massa awal 16,2 gram, pada menit  ke-5, es batu yang diletakkan diatas biofoam sedikit mencair dengan penurunan berat es sebear 15,5 gram begitu pula pada styrofoam namun penurunannya mencapai 13,1 gram, pada menit ke-10, es batu pada biofoam beratnya menjadi 12,8 gram atau masih sedikit mencair, sedangkan pada styrofoam mencair seperempat bagian dengan penurunan es batu mencapai 10,5 gram, dan pada menit ke-15 es batu pada biofoam mencair seperempat bagian dengan massa 9,2 gram, sedangkan pada styrofoam sudah setengah bagian yang mencair dengan massa 7,8 gram, dan pada menit ke-20 setengah bagian es pada biofoam mencair tapi terdapat sisa es batu dengan massa akhir 6,6 gram sedangkan pada styrofoam mencair namun hampir berubah menjadi air dengan massa akhir sebesar 4,4 gram. Dalam penelitian tersebut es pada biofoam mencair lebih lambat disertai penurunan berat es batu yang lebih kecil dibandingkan styrofoam sehingga memiliki kemampuan isolator panas yang lebih bagus dari styrofoam. Kemampuan sebagai isolator panas didapatkan dari tongkol jagung, sehingga tongkol jagung dapat menggantikan peran zat DOP dalam styrofoam yaitu selain bahan pelentur dan mempertahankan teksturnya juga menjaga panas makanan didalamnya agar tetap panas atau kemampuan isolator panas. DOP merupakan zat yang mengandung benzen yang bersifat karsinogen [21]. Semakin panas makanan yang diletakkan didalamnya, akan mempercepat laju perpindahan benzen ke makanan tersebut. Dengan adanya tongkol jagung sebagai isolator panas, dapat menggantikan peran DOP dalam styrofoam. Maka Biofoam yang terbuat dari sorgum, tongkol jagung,dan cangkang kepiting aman bagi kesehatan dan dapat menggantikan styrofoam di pasaran.
3. Analisis Uji Ketahanan Panas
           Uji ketahanan panas dilakukan dengan merendam biofoam dan styrofoam dengan air panas yang bersuhu 65 selama 12 menit, dan mencatat perubahan pada menit ke-6, menit ke-8, menit ke-10, hingga menit ke-12. Pada menit ke-6, belum terlihat perubahan yang jelas pada biofoam maupun styrofoam, pada menit ke-8, biofoam menjadi sedikit lunak, sedangkan pada styrofoam teksturnya berubah menjadi lebih tipis, pada menit ke10, tekstur biofoam menjadi sedikit lunak, sedangkan pada styrofoam, teksturnya semakin menipis, dan pada menit ke-12 tekstur, biofoam tetap utuh, namun menjadi agak lunak, sedangkan pada styrofoam, teksturnya menjadi tipis dan mudah sobek. Dari percobaan yang telah dilakukan, Biofoam memiliki ketahanan panas yang lebih baik daripada styrofoam. Sehingga Biofoam dapat dijadikan alternatif pengganti styrofoam.
4. Analisis Biofoam Sebagai Bahan Kedap Air
                       Berdasarkan percobaan yang telah dilakukan dengan cara menuangkan 400 ml air pada biofoam, membuktikan bahwa pada biofoam dengan ketebalan 3 mm yang dicetak menggunakan teknik thermopressing memiliki kemampuan menahan massa air yang sangat baik karena biofoam menunjukkan sifat yang elastis namun kuat, dan bagian bawah biofoam sudah tidak mengalami pemuaian, tingkat kerapatan biofoam sudah sangat baik, karena permukaan biofoam yang sudah rata dan tidak ditemukan celah pada permukaan biofoam sehingga tidak ada intensitas rembesan air pada bagian bawah biofoam yang menyebabkan air tertampung pada permukaan biofoam. Hal ini juga didukung oleh penelitian yang mengungkapkan bahwa semakin banyak jumlah kitosan yang ditambahkan semakin rendah persen water absorption (jumlah air yang terserap) [22].
5.Analisis Uji Ketahanan Beban
                       Uji ketahanan beban dilakukan untuk mengetahui dan membandingkan kekuatan dalam menahan beban antara biofoam dan styrofoam. Uji ketahanan beban dilakukan dengan meletakkan beban diatas biofoam dan styrofoam yang memiliki ketebalan yang sama, yaitu 2 mm dengan massa yang berbeda-beda mulai dari benda bermassa 75 gram, 175 gram, 250 gram, sampai 380 gram. Ketika biofoam dan styrofoam diberi beban bermassa 75 gram, kedua benda dapat menahan beban, pada beban bermassa 175 gram biofoam dan styrofoam masih bisa menahan beban tersebut, pada beban bermassa 250 gram, biofoam dan styrofoam masih bisa menahan beban namun mulai sedikit rapuh, dan pada beban bermassa 380 gram biofoam masih bisa menahan beban namun pada bagian bawah biofoam sedikit membentuk celah kecil, sedangkan pada styrofoam juga masih bisa menahan beban, dan tidak membentuk celah, namun hampir jebol. Ini membuktikan, bahwa biofoam memiliki ketahanan beban yang sama dengan styrofoam, selain itu ketahanan beban juga dipengaruhi oleh tekstur yang padat dan kuat suatu benda. Untuk mempertahankan struktur styrofoam, ditambahkan zat DOP yang juga berfungsi sebagai zat pelentur yang bersifat karsinogenik ( pemicu kanker ). Sedangkan pada biofoam, kepadatan teksturnya diperoleh dari kandungan serat pada sorgum serta penambahan cangkang kepiting yang mengandung kitosan yang berperan dalam peningkatan kuat tarik biofoam karena kitosan memiliki gugus fungsi amin, hidroksil primer dan sekunder [23]  sehingga aman bagi kesehatan dan dapat menjadi alternatif pengganti styrofoam.

6. Analisis Proses Penguraian Biofoam Dalam Tanah 
           Uji penguraian dilakukan untuk mengetahui bahwa biofoam dapat terurai dalam tanah. Uji penguraian dilakukan dengan memotong biofoam menjadi beberapa bagian, dan menguburnya dalam tanah dengan pH optimal selama tiga minggu, dan mencatat setiap perubahan mulai minggu pertama hingga minggu ketiga. Dari penelitian yang telah dilakukan, diperoleh beberapa data. Pada minggu pertama masih terlihat potongan biofoam pada tanah, di minggu kedua potongan biofoam sudah tercampur dengan tanah namun masih terlihat sedikit serpihan tongkol jagung pada tanah, dan pada minggu ketiga sudah tidak terlihat serpihan tongkol jagung dan seluruh potongan biofoam sudah terurai oleh tanah. Dari penelitian tersebut biofoam dapat terurai secara alami dalam waktu 3 minggu, sedangkan pada styrofoam membutuhkan waktu 500 tahun untuk bisa terurai bahkan hampir tidak bisa terurai [24] sehingga akan menumpuk dan mencemari lingkungan yang juga akan berpengaruh negatif pada kesehatan manusia di lingkungan tersebut. Maka biofoam dapat menjadi alternatif pengganti styrofoam yang lebih ramah lingkungan.

F. KESIMPULAN DAN SARAN
 a. Kesimpulan
 1. Sorghum, tongkol jagung dan cangkang kepiting    dapat dimanfaatkan sebagai biofoam    alami anti bakteri dengan penerapan teknik thermopressing.
2. Biofoam alami anti bakteri mempunyai kualitas yang lebih baik dari sterofoam yang ada di pasaran.
b. Saran
1.      Diperlukan pengembangan lebih lanjut dari pembuatan biofoam ini untuk memperoleh hasil yang lebih baik lagi.
2.      Dengan adanya biofoam ini, diharapkan dapat meminimalkan penggunaan styrofoam yang banyak memberi dampak negatif bagi kesehatan maupun lingkungan.

G. UCAPAN TERIMA KASIH
Puji syukur kepada Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya kepada penulis. Sehingga penulis dapat menyelesaika laporan penelitian ini dengan lancar.
tepat pada waktu yang telah disediakan.
Keberhasilan penulisan karya tulis ini tidak lepas dari bantuan pihak-pihak yang terkait, karena itu penulis menyampaikan banyak terima kasih kepada:
1.              Kedua orang tua atas semua do’a, cinta, kasih sayang, dukungan, dan perjuangan yang tiada henti-hentinya.
2.              Ibu Dra. Retno Suprijatingsih selaku Guru Pembimbing yang telah banyak membantu dalam penyusunan laporan penelitian ini.
3.              Semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan laporan penelitian ini, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Akhirnya kepada Allah SWT jualah senantiasa penulis berharap semoga pengorbanan dan segala sesuatunya yang dengan tulus dan ikhlas telah diberikan dan penulis dapatkan selalu mendapat limpahan rahmat dan hidayah-Nya, Aamiin.
Lamongan, Agustus 2018

Penulis


H. DAFTAR PUSTAKA

1] Ayodya, W, 2007. Kursus Singkat Usaha Rumah Makan Laris Manis. Jakarta: Alex Media   Komputindo.

[2] Husain, Izhar, dkk. 2015. Disposable Plastic Food Container and Its Impacts on Health. The  Journal of Energy and Environmental Science. Vol 3. April 2015
 [3] Priyono,Yoppi Juli dan Nadia. 2014. Pengaruh Penggunaan Styrofoam Sebagai Pengganti Agregat Kasar Terhadap Kuat Tekan Beton. Jurnal Konstruksia Vol.5 No.2 Agustus 2014
 [4] Davis G, Song JH. 2006. Biodegradable packaging based on raw material from crops  and their impact on waste management. IndCrops Prod. 23:147 - 161.
[5]  Sirappa, M.P., Prospek Pengembangan Sorgum Di Indonesia Sebagai Komoditas Alternatif Untuk Pangan, Pakan, Dan Industri. Jurnal Litbang Pertanian, 22(4), 2003
[6]  Sudjarwo, Eko. 2016. Bisa Jadi Pengganti Beras, Produksi Sorgum di Lamongan Capai 6,5 Ton/Ha. http://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-3323758/bisa-jadi-pengganti-beras-produksi-sorgum-di-lamongan-capai-65-tonha. [6 maret 2018]
[7]  Supranto. Tawfiequrrahman. A.,dan Yunanto. D.E. Cabral C.DA dan Hanafi, A.2014, Pengaruh Simultan Parameter Suhu dan Konsentrasi Larutan NaOH Terhadap Kuantitas dan Kualitas Hasil Cellulose Serbuk pada Proses Delignifikasi Tongkol Jagung. Jurnal Sains dan Teknologi Lingkungan, Vol.6, No.2, Juni 2014, Hal. 86 – 97, Jakarta
[8]  Sari, Alvika Meta dan Ernawati,  Pemanfaatan Limbah Tongkol Jagung Menjadi Serbuk Selulosa Dengan Proses Hidrolisa Untuk Aplikasi Hand Body Lotion, Simposium Nasional Teknologi Terapan (SNTT) 5 2017
[9]  Adil Makmur Tarigan, dkk. 2015. Isolasi Selulosa Dari Tongkol Jagung Sebagai Bahan Pengisi Pembuatan Tablet Klorfeniramin Maleat Cetak Langsung. Jurnal ilmiah PANNMED Vol.10 No..1 Mei-Agustus
[10] Fachry, A.R. Astuti, P. dan Puspitasari, T.G. 2013. Pembuatan Bioetanol dari Limbah Tongkol Jagung dengan Variasi Konsentrasi Asam Klorida dan Waktu Fermentasi. Jurnal Teknologi Kimia. No.1Vo. 19. Januari 2013. Surabaya.
[11] Trisnawati, Elin, dkk. 2013 .Pembuatan Kitosan Dari Limbah Cangkang Kepiting Sebagai    Bahan Pengawet Buah Duku Variasi Lama Pengawetan. Jurnal Teknik Kimia No. 2, Vol. 19, April 2013
[12] Sarwono, R. 2010. Pemanfaatan Kitin / Kitosan Sebagai Bahan Anti Mikroba. JKTI, VOL. 12,  No.1, Juni 2010
[13] Saleh, Erna Rusliana Muhamad. 2014. Penentuan Kodisi Proses Terbaik Pembuatan Biofoam Dari Limbah Pertanian Lokal Maluku Utara. Seminar Nasional Sains dan Teknologi 2014 Fakultas Teknik Universitas Muhammadiyah Jakarta , 12 November 2014
[14] National Toxicology Service, U.S. Department of Health Human Services., 2014. 13th  on Carcinogens (RoC). http://ntp.niehs.nih.gov/pubhealth/roc/roc13/index.html [8 Maret 2018]
[15] Pratama, Nanda, dkk.2016. Pengaruh Variasi Ukuran Partikel Terhadap Nilai Konduktivitas Termal Papan Partikel Tongkol Jagung. PILLAR OF PHYSICS, Vol. 7. April 2016
[16] Krishnarao, R.V, Subrahmanyam, J., and Kumar, T.J (2001) ‘Studies on The Formation of Black  Particles in Rice Husk Silica Ash’, Journal of the European Ceramic Society, Vol. 21, pp. 99-104.
[17] Chuai, C., Almdal, K., Poulsen, L. and Plackett, D. (2001) ‘Conifer Fibres as Reinforcing Materials for Polypropylene Based Composites’, J. Appl. Polym. Sci., 80 (14), pp. 2833-2841. 11. Evert, R.F. (2006) „Esau's Plant Anatomy: Meristems, Cells, and Tissues of the Plant Body: Their Structure, Function, and Development‟, third Edition, John Wiley & Sons, USA. 35
[18] Nugraha, Paul dan Antoni. 2007.Teknologi Beton. Yogyakarta: Andi.
[19] Adam, S and Clark, D., 2009. Landfill Biodegradation An In Depth Look at Biodegraation in Landfill Environment, Biotec Environmental, Albuquerque & ENSO Bottles, LLC, Phoenix.
[20] Hargono dan M. Djaeni (2010), “Pemanfaatan dari Kulit Udang sebagai Pelarut Lemak”, Prosiding Seminar Nasional Teknik Kimia Indonesia.
[21] Tadinur. Dampak negatif kemasan makanan. Pikiran Rakyat Cyber Media.
[22] Schmidt, V. C. (2006) Desenvolvimento de embalagens biodegrada´veis a partir da e´cula de cassava, calca´rio e fibra de cellulose, Rh. D. Dissertation, Universidade Federal de Santa Catarina (UFSC), Floriano´ polis, Brasil.
[23] Dallan, P. R. M., Moreira, P. da Luz., Petinari, L., Malmonge, S. M., Beppu, M. M., Genari, S. C., Moraes, A. M. (2006) Effects of chitosan solution concentration and incorporation of chitin and glycerol on dense chitosan membrane properties, Journal of Biomedical Materials Research Part B: Applied Biomaterials, 394 – 405.
[24] Ghorpade, V.M., Gennadios, A., Hanna, M.A., Weller, C.L. (1995) Soy protein isolate polyethylene oxide film, Biological System Engineering, 72(6), 559 – 563.














Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel